Di tengah derasnya arus konflik dan narasi
separatis yang terus dipertahankan oleh segelintir kelompok bersenjata di Papua,
suara damai dan harmoni justru datang dari masyarakat dan tokoh papua yang
menginginkan adanya perdamaian di tanah papua. penetapan tanggal 1 Juli, yang selama ini diklaim sebagai Hari Ulang Tahun (HUT)
Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah ditolak dengan tegas oleh sejumlah tokoh adat di Papua. Para tokoh menilai bahwa 1 Juli bukanlah hari
yang patut dirayakan, melainkan menjadi pengingat akan panjangnya daftar
penderitaan yang dialami rakyat Papua akibat ulah kelompok separatis tersebut.
Nampaknya Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok
separatis tersebut selama bertahun-tahun kini semakin kehilangan tempat di hati
masyarakat. Masyarakat papua sadar bahwa perdamaian kini lebih penting daripada
mendukung nafsu segelintir kelompok yang ingin memerdekakan diri dari NKRI. Ketua
Dewan Adat Wilayah Tabi, Yustus Nawipa, menyatakan bahwa OPM telah jauh
menyimpang dari semangat perjuangan dan lebih banyak meninggalkan luka bagi
masyarakat. Mereka tidak lagi bicara soal martabat rakyat Papua, tapi justru
membuat rakyat jadi korban
Penolakan terhadap peringatan 1 Juli tidak
hanya muncul sebagai reaksi spontan, melainkan sebagai bentuk perlawanan budaya
terhadap politisasi identitas yang bertentangan dengan jati diri Papua. Gerakan
separatis dipandang telah memanfaatkan simbol-simbol kultural untuk membenarkan
aksi kekerasan yang justru melukai masyarakat Papua sendiri. Dalam konteks ini,
peringatan 1 Juli justru lebih merepresentasikan luka dan ketakutan daripada
kebanggaan kolektif.
Tokoh Adat Papua, Yanto Eluay memegaskan bahwa
nilai-nilai luhur dalam adat istiadat Papua tidak pernah mengajarkan kekerasan
sebagai sarana penyelesaian konflik. Sebaliknya, semangat musyawarah, saling
menghargai, dan menjaga keharmonisan telah diwariskan secara turun-temurun
sebagai bagian dari identitas masyarakat Papua.
Generasi muda papua juga menolak dengan keras
perayaan tersebut karena sikap yang ditunjukkan oleh kelompok separatis justru
membawa kehancuran bagi mereka. Generasi papua kini menyadari betapa pentingnya
pendidikan untuk memajukan papua dan kolaborasi dengan pemerintah pusat. Salah satu tokoh pemuda Pegunungan Tengah, Riko Wenda, menilai OPM
sudah kehilangan kepercayaan masyarakat, khususnya dari generasi muda. Ia
menegaskan bahwa perjuangan yang membenarkan pembunuhan, penyanderaan, serta
membakar sekolah dan fasilitas umum bukanlah perjuangan yang berhasil.
“Anak-anak muda sekarang lebih memilih jalan damai dan pembangunan. Kita tidak
bisa terus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan,” tegasnya.
masyarakat papua juga menyuarakan bahwa
pembangunan di Papua hanya akan berhasil jika stabilitas keamanan dapat dijaga.
Ketika senjata terus berbicara, maka pembangunan akan lumpuh. Sekolah-sekolah
akan kosong, fasilitas kesehatan akan sepi, dan masyarakat akan hidup dalam ketakutan.
Dalam situasi seperti itu, tidak ada investasi sosial yang bisa bertahan. Oleh
karena itu, stabilitas bukan sekadar kebutuhan pemerintah, melainkan menjadi
kebutuhan dasar masyarakat Papua sendiri.
Penolakan dari para tokoh adat, pemuda, dan agama ini mencerminkan
keinginan rakyat Papua yang semakin kuat untuk melepaskan diri dari lingkaran
kekerasan. Mereka tidak ingin Papua terus menerus dilanda konflik, dan
menegaskan bahwa pembangunan, perdamaian, dan persatuan adalah masa depan yang
sejati.
Pemerintah sendiri dalam beberapa tahun
terakhir telah menunjukkan komitmen serius terhadap percepatan pembangunan di
Papua. Investasi di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan
kewirausahaan lokal terus digalakkan. Namun semua itu tidak akan berarti tanpa
dukungan masyarakat. Karena itu, suara-suara seperti yang disampaikan oleh para
tokoh adat dan agama perlu mendapat tempat utama dalam narasi pembangunan Papua
ke depan. Mereka adalah cermin suara akar rumput, yang jauh lebih tahu apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat Papua sebenarnya.
Dalam konteks ini, penolakan terhadap
simbol-simbol separatis bukanlah penyangkalan terhadap sejarah, melainkan upaya
merebut kembali masa depan. Dan ketika masyarakat Papua sendiri yang bersuara,
maka dunia harus mendengar: Papua adalah bagian dari Indonesia, dan di tanah
ini, damai telah dipilih sebagai jalan menuju kemajuan.
Penulis : Admin,
Comments0