TpCiTSdpTSG0GpAoTfC8GpA9BY==

Luka di Tengah Jalan: Antara Tugas Aparat, Suara Rakyat, dan Bayang-Bayang Korupsi

 



Peristiwa memilukan terjadi pada Kamis, 27 Agustus 2025, ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, terlindas kendaraan Rantis Brimob saat aksi unjuk rasa berlangsung. Insiden itu sontak menyita perhatian publik, memunculkan duka, sekaligus menyulut perdebatan tentang peran aparat, legitimasi unjuk rasa, dan bagaimana negara seharusnya hadir di tengah rakyatnya.

Aparat keamanan hadir di jalanan bukan tanpa alasan. Dalam setiap aksi massa, potensi kericuhan selalu mengintai. Polisi, termasuk satuan Brimob, mengemban mandat konstitusi untuk menjaga ketertiban umum. Mereka dituntut memastikan agar unjuk rasa tidak berubah menjadi kerusuhan yang berpotensi merugikan lebih banyak pihak. Tugas tersebut jelas tidak ringan. Di tengah sorotan publik dan tekanan politik, aparat berada di garis terdepan, menjadi perisai negara dari kekacauan. Karena itu, tidak adil apabila seluruh kesalahan langsung ditimpakan kepada petugas lapangan.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa para demonstran turun ke jalan dengan alasan yang nyata. Mereka hadir membawa keresahan yang lahir dari himpitan ekonomi, harga kebutuhan pokok yang terus naik, serta rasa frustrasi terhadap janji-janji pemerintah yang tak kunjung ditepati. Dalam demokrasi, unjuk rasa adalah instrumen sah untuk menyampaikan aspirasi. Itu adalah suara rakyat yang seharusnya didengar, bukan dicurigai apalagi diabaikan.

Meski demikian, ada batas penting yang tak boleh dilupakan: demonstrasi harus dilakukan secara tertib dan damai. Merusak fasilitas umum, membakar kendaraan, atau menyerang kantor pemerintahan tidak akan memperkuat tuntutan, justru mencederai tujuan utama. Aksi yang rusuh hanya akan mengalihkan fokus dari substansi aspirasi menuju kerugian material dan trauma sosial. Sebaliknya, demonstrasi yang tertib akan memperlihatkan kedewasaan politik rakyat, membuat suara mereka lebih kuat, sah, dan sulit dibungkam.

Di atas semua itu, kita tidak boleh lupa bahwa akar masalah yang melahirkan keresahan rakyat dan benturan dengan aparat terletak pada satu hal: korupsi pejabat. Selama uang negara terus dikorupsi, selama anggaran pembangunan lebih sering masuk ke kantong pribadi daripada ke program kesejahteraan, rakyat akan tetap sengsara. Pada akhirnya, aparat dipaksa berhadapan dengan kemarahan rakyat di jalanan, sementara para koruptor bersembunyi di balik kekuasaan.

Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan harus menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Negara tidak boleh hanya hadir melalui barisan aparat bersenjata, melainkan juga melalui kebijakan yang adil, berani, dan berpihak pada rakyat. Aparat bukan musuh rakyat. Rakyat bukan ancaman negara. Musuh yang sesungguhnya adalah korupsi yang merampas masa depan kita bersama.

Selama korupsi dibiarkan, benturan demi benturan akan terus terjadi. Luka seperti yang kita saksikan di akhir Agustus lalu bisa saja terulang, menelan korban baru. Inilah saatnya pemerintah menata ulang prioritas: bukan lagi sekadar menjaga ketertiban di jalanan, melainkan menghadirkan keadilan yang sesungguhnya.

 

Penulis : Admins

Comments0

Type above and press Enter to search.