Riyadh (30/11/25), Menjadi mahasiswa Indonesia di Timur Tengah termasuk Arab Saudi sering kali hanya disinonimkan dengan penuntut ilmu agama, seolah-olah kami hidup di ruang hampa tanpa keterkaitan dengan denyut nadi tanah air. Padahal, dari tempat yang jauh, kami tetap turut menyimpan tanggung jawab besar: merawat wawasan kebangsaan, mempertahankan semangat keadilan, dan tak lepas dari realitas sosial yang terjadi di Indonesia, termasuk di Papua.
Meskipun bentang Samudera Hindia memisahkan secara fisik, persoalan bangsa tidak pernah padam di benak kami. Papua, dengan segala kompleksitasnya pembangunan, keadilan sosial, hak masyarakat adat tetap menjadi bagian dari diskusi dan refleksi kolektif. Jarak justru memungkinkan kami melihat Papua dengan perspektif objektif dan kemanusiaan.
“Kami menyadari bahwa problematika Papua tidak dapat diselesaikan hanya secara parsial, dengan pendekatan keamanan atau ekonomi semata. Dibutuhkan pendekatan humanis dengan kepedulian yang tulus. Jarak yang jauh inilah yang memungkinkan kami memandang Papua sebagai etalase keadilan Indonesia yang harus tetap dijaga marwahnya,” ujar Ketua PPI Arab Saudi, PPI Arab Saudi, saat berbicara atas nama pelajar Indonesia di Timur Tengah.
Nilai-nilai keadilan, moderasi, dan keadilan sosial ajaran-ajaran yang kami pelajari memberi kesadaran bahwa pembangunan di Papua tidak bisa didekati secara semata materi: jalan, gedung, infrastruktur fisik saja. Pembangunan sejati harus mengedepankan keadilan sosial, ekonomi, perlindungan hak masyarakat adat, serta penghormatan terhadap kemanusiaan.
Kini, data terbaru menunjukkan bahwa kondisi di Papua memang mulai menunjukkan kemajuan, meskipun tantangan tetap besar. Menurut laporan resmi tahun 2025, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua mencapai 74,69 meningkat sekitar 0,86 poin dibanding tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa aspek kualitas hidup pendidikan, kesehatan, standar hidup — secara agregat mengalami perbaikan.
Namun, kemajuan itu belum berarti semua persoalan telah selesai. Di sisi kemiskinan dan ketimpangan sosial masih terasa. Sebagai contoh, di wilayah barat Papua (provinsi Papua Barat), tingkat kemiskinan pada Maret 2025 tercatat 20,66 persen. Sementara itu di beberapa bagian wilayah lain seperti Papua Barat Daya, kemiskinan tercatat sebesar 17,95 persen pada periode sama. Perbedaan ini menunjukkan bahwa distribusi dampak pembangunan masih belum merata, terutama antara kawasan perkotaan, pesisir, dan pedalaman.
Lebih dari itu pembangunan moral dan sosial tak bisa diabaikan. Ketika kemiskinan, ketimpangan, dan marginalisasi masih menghantui banyak masyarakat adat, pendekatan sekadar ekonomi atau infrastruktur tidak cukup. Dibutuhkan empati, keberpihakan kepada hak-hak dasar, dan keadilan manusiawi bukan kekerasan atau dominasi.
Kami, para mahasiswa dan alumni di Timur
Tengah, memandang diri kami sebagai jembatan: jembatan solidaritas, pendidikan,
dan kemanusiaan. Kami siap membantu membuka akses pendidikan melalui beasiswa
dan jaringan agar putra-putri Papua mendapat kesempatan yang setara untuk
berkembang. Upaya ini bisa membantu mematahkan stigma, melawan diskriminasi,
serta menegakkan keadilan sosial yang sejati.
Narasi kepedulian tanpa aksi memang kosong. Tapi bila digabung dengan data, refleksi, dan komitmen moral maka menjadi nyala harapan bahwa Papua tidak hanya akan diperhatikan di atas kertas. Papua bisa menjadi bagian hidup sebuah bangsa yang adil dan beradab.
Dari tanah rantau di Timur Tengah, kami
mengirimkan keyakinan bahwa visi kemajuan negara seperti Indonesia Emas 2045 hanya
akan bermakna jika Papua telah sejahtera, berdaya, dan menjadi pilar kokoh
kejayaan bangsa. Mari kita rajut kembali ukhuwah wathaniyah, persaudaraan
kebangsaan dengan ketulusan, keadilan, dan aksi nyata.
Penulis: Ghozi Majmaah
Comments0