Riyadh, ( 25/11/2025 ) Sebagai seorang aktifis yang
memerhatikan dinamika demografi dan ekonomi ketenagakerjaan, saya melihat para
Pekerja Migran Indonesia (PMI) — atau yang dahulu disebut TKI — sebagai
fenomena sosial yang kerap kita pahami setengah hati. Mereka bukan sekadar
tenaga kerja yang berkelana, melainkan simpul penting dalam sirkulasi ekonomi
global yang mengalir kembali ke Indonesia dalam bentuk remitansi. Dalam
peringatan Hari Pahlawan, pantas rasanya kita meninjau ulang definisi
kepahlawanan dari sudut pandang ekonomi-politik masa kini: bahwa keberanian
tidak selalu bersenjatakan bambu runcing; terkadang ia berwujud paspor yang
distempel, koper sederhana, dan tekad untuk mengubah nasib keluarga sambil
menguatkan fondasi ekonomi nasional.
Data yang tersedia memperlihatkan kenyataan
yang mencolok: remitansi dari PMI sepanjang tahun 2024 mencapai sekitar Rp
251,5 triliun, meningkat 14% dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah bahkan
memperkirakan sumbangan PMI dapat melonjak hingga Rp 439 triliun pada
2026 jika tren penempatan dan kualitas kerja terus menguat. Angka-angka ini
bukan sekadar statistik; ia adalah denyut ekonomi yang menjalar dari kantong
pekerja di luar negeri menuju rumah-rumah kecil di Jawa, Sumatra, Nusa
Tenggara, hingga Sulawesi. Remitansi itu membiayai sekolah, menghidupkan usaha
kecil, dan memperlebar peluang sosial bagi keluarga yang sebelumnya hidup dalam
keterbatasan. Dari sudut pandang makro, ini adalah pasokan devisa non-migas
yang memperkuat stabilitas negara — kontribusi yang biasanya hanya dinisbatkan
kepada sektor industri besar, padahal lahir dari kerja keras individu-individu
yang jauh dari sorotan kamera.
Pemerintah pun mulai mengartikulasikan
pengakuan yang lebih tegas. Menteri P2MI menyebut PMI sebagai “pejuang
devisa bangsa”, sedangkan kementerian terkait terus mendorong pelatihan
vokasional, peningkatan perlindungan, dan pengelolaan keuangan agar para
pekerja ini tidak hanya menjadi penyumbang devisa, tetapi juga agen
transformasi sosial ketika kembali ke tanah air. Dari perspektif ilmiah, inilah
saatnya kita memperlakukan PMI bukan sebagai objek kebijakan, melainkan aktor
pembangunan. Jika Hari Pahlawan mengajarkan kita tentang harga sebuah
pengorbanan, maka PMI adalah representasi modern yang bekerja dalam senyap —
dengan dampak ekonomi yang keras, terukur, dan berjejak panjang. Mereka tidak
meminta gelar apa pun; yang mereka butuhkan adalah kebijakan yang adil,
perlindungan yang konkret, serta pengakuan bahwa kepahlawanan hari ini dapat
lahir dari tangan-tangan yang bekerja jauh dari kampung halaman.
Penulis : Sadarudin (Koordinator Perhimpunan WNI Gizan)
Comments0